Sebuah
Harapan
“Assalamu’alaikum………”
Suara khas itu memecah pagi yang masih senyap di kantor kami.
“Waduh! lagi tanggung nih! Pagi amat sch dia datang!”, seruku dalam hati sambil
membenahi pakaianku di kamar kecil. Rupanya karena terburu-buru resliting
celana panjangku macet, tersangkut bahan celana.
“Assalamu’alaikum………”
Ulang suara itu.
Aku jadi panik.
“Oh God, please help me”, doaku dalam hati, dan “Semoga Allah SWT tidak marah
padaku karena urusan resliting macet saja, aku harus minta pertolonganNya”,
bisik hati kecilku sambil tetap menarik-narik retsliting celana yang nyangkut.
Tetapi karena tergesa-gesa bukannya berhasil, retslitingku malah jebol, rusak.
“Alamak!”, seruku kaget.
Untung saja blouseku lumayan panjang sehingga bisa menutupi bagian depan celana
panjangku yang rusak restlitingnya. Setelah yakin bahwa keadaan darurat itu
bisa teratasi, aku keluar dari kamar kecil berjalan dengan agak tergesa menuju
teras depan seraya berteriak, “Wa’alaikum salam….. sebentar ya Bu…..”, pintaku
padanya. Aku lalu berbelok masuk ke ruang kerjaku yang letaknya di sebelah
ruang tamu, dan bergegas mencari dompet dari tas tanganku. Sesegera itu pula
aku berlari ke teras dan mengulurkan selembar uang bergambar Tuanku Imam Bonjol
kepada perempuan tua itu.
“Alhamdulillah….., terima kasih ya Neng, semoga Allah memberi banyak rejeki dan
kesehatan kepada Eneng dan keluarga, amin”, doa ibu itu.
“Amin”, jawabku singkat.
“Ibu baik-baik saja?” tanyaku kemudian.
“Iya Neng, baik. Trima kasih ya Neng”, lanjutnya.
Setelah itu, seperti kebiasaannya. Ibu itu lalu membalikkan badan dan perlahan
berjalan terpicang-pincang menuju pintu pagar halaman.
Lama kupandangi punggung ibu (pantasnya sih di panggil nenek) bertubuh mungil
itu hingga hilang di balik pagar. Langsung saja kisah yang diceritakannya
beberapa waktu lalu memenuhi pikiranku.
***
Perempuan tua itu bernama Ruminah, (menurutnya) berumur 68 tahun. Bertubuh
mungil, dengan tinggi badan sekitar 140 cm. Setiap hari Jumat sejak kami
menempati kantor ini lima tahun lalu, di waktu yang hampir sama, ibu Ruminah
selalu ‘singgah’ ke kantor kami. Pakaian yang dikenakannya selalu sama. Kain
sarung batik yang telah pudar warnanya dan baju kebaya bahan brokat yang telah
usang pula. Tak lupa sebuah ciput (topi yang biasa digunakan sebagai dalaman
jilbab) juga dikenakannya.
Ketika menyapa kami di setiap hari Jumat pagi, nada suara ibu Ruminah sangat
khas. “Assalamu’alaikum…….,” teriaknya nyaring dengan suaranya yang agak serak.
Karena letak ruang kerjaku paling dekat dengan ruang tamu, biasanya akulah yang
terlebih dahulu menjawab salamnya itu. Waktu kedatangannya biasa bertepatan
dengan kesibukan pagi kami di depan internet. Karena tak ingin kehilangan
banyak waktu ketika mengakses internet, biasanya beberapa di antara kami
memberi sekedar uang, sekadar berbasa-basi, lalu bergegas meninggalkannya.
Biasanya ibu Ruminah belum akan beranjak pergi bila dua orang ‘donatur’
tetapnya belum hadir semua. Bila yang muncul hanya salah seorang, ibu Ruminah
tak segan-segan bertanya, kemana si eneng? atau kemana bapak yang satunya?
Setelah diberi beberapa lembar uang oleh kami, biasanya ibu Ruminah melantunkan
doa yang selalu sama. Kemudian ibu Ruminah berbalik dan berjalan menuju pintu
pagar kantor dan berlalu.
Rutinitas seperti itu, kami jalani selama hampir empat tahun lamanya. Hingga
suatu hari, aku tak tahan untuk tidak berkomunikasi lebih jauh dengan perempuan
renta yang berjalan terpincang-pincang itu.
“Tinggal dimana Bu?”tanyaku waktu itu.
“Di Cakung Neng”, jawabnya.
“Jauh dari sini ya, Bu”, sahutku.
“Ya”, jawabnya ringkas seraya duduk di lantai teras kantor kami. Dia lalu
mengusap-usap kakinya yang kurus.
“Jangan duduk di bawah Bu,” pintaku.
Ibu Ruminah lalu pindah, dan kami bersama duduk di kursi rotan yang ada di
teras.
“Kenapa kakinya Bu?” tanyaku lagi.
“Rematik Neng, sudah lama. Kadang-kadang sampai nggak bisa jalan”, jawabnya.
“Naik apa Ibu ke Pancoran sini?”tanyaku lagi.
“Naik bis”,jawabnya singkat.
Aku mulai gemas dengan jawabannya yang ringkas-ringkas.
“Di Cakung, Ibu tinggal dengan siapa?” tanyaku.
“Dengan orang Neng. Dia baek sekali ngajakin Ibu tinggal bersamanya. Rumahnya
sih sederhana dan kecil Neng. Dindingnya aja kayak rumah-rumah di kampung”,
terangnya panjang lebar.
Aku terpana, setengah tak percaya.
“Masih saudara ya Bu? Kerja dimana orang yang nolong Ibu itu?” tanyaku
beruntun.
“Bukan Neng, bukan saudara. Kerjanya jualan sayur di pasar Cakung”, sahutnya.
Hatiku tercubit. Entahlah, rasanya ada rasa malu menyelinap. Malu kepada Ibu
Ruminah juga kepada pedagang sayur di pasar Cakung itu.
“Tapi ya itu Neng”, lanjut ibu Ruminah, ”Ibu memang boleh tinggal di sana tapi
untuk makan ibu harus nyari sendiri. Makanya kalo hari Jumat ibu keliling biar
dapat duit. Duit itu ibu pake untuk beli makan seminggu. Tapi kalau rematik ibu
lagi kumat dan nggak bisa jalan, ya terpaksa nggak bisa keliling nyari duit.
Kalo sudah begitu untuk makan ya ibu ngutang. Ntar ibu bayar kalo sudah dapat
duit.”
“Ibu punya anak?” tanyaku lagi.
“Punya Neng, cuma satu, perempuan. Tujuh tahun yang lalu dikawin ama orang Aceh
trus di bawa ke sana”, terangnya.
“Emang, anak Ibu nggak pernah nengokin Ibu?” tanyaku lagi.
“Nggak Neng, nggak pernah. Jangan kan nengok, ngirim kabar aja enggak pernah.
Waktu itu ibu masih di kampung, di Indramayu. Karena lama nggak ada kabar dari
anak, ibu trus ke Jakarta. Pikiran Ibu waktu itu, kalo sudah sampai Jakarta ke
Acehnya kan sudah dekat”, katanya lirih.
“Subhanallah, betapa lugunya Ibu ini”, batinku. “Apakah ibu Ruminah tidak tahu
bahwa untuk pergi dengan bus ke tempat di ujung utara pulau Sumatera itu paling
tidak membutuhkan waktu dua hari satu malam?”, dalam hati aku bertanya.
“Sampai sekarang Ibu tidak tau kabar anak ibu dan suaminya. Ibu juga tidak tau
apakah ibu sudah mempunyai cucu dari mereka atau belum”, lanjutnya dengan sedih.
“Tapi Neng!”, katanya tiba-tiba. ”Kata orang-orang, di Aceh baru ada tsunami
ya? Apa sih tsunami itu Neng?”
“Tuhanku, kuatkan hatiku”, doaku dalam hati. Lalu dengan keterbatasanku, aku
mencoba menjelaskan kepadanya mengenai apa itu tsunami.
Tiba-tiba, air matanya luruh perlahan membasahi pipinya yang keriput.
“Ya Rabbi….., kuatkan hatinya”doaku dalam hati.
“Neng,” katanya kemudian. “Jangan-jangan anak ibu dan suaminya sudah mati kena
tsunami ya?”
Aku tak kuasa menjawab.
“Barangkali anak ibu dan suaminya tidak tinggal di daerah yang kena tsunami”,
aku mencoba memberinya harapan yang aku tahu pasti sia-sia.
“Apa ibu tau di Aceh sebelah mana anak dan menantu ibu tinggal?”tanyaku.
“Nggak Neng?” jawab ibu Ruminah seraya menyusut air mata dengan ujung kebayanya.
Kami bersama larut dalam pikiran masing-masing, hingga tak terasa kami terdiam
cukup lama.
“Neng”, akhirnya ibu itu berkata. “Jika benar anak, menantu dan mungkin cucu
ibu telah mati karena tsunami, mungkin sudah jalan hidup mereka. Ibu percaya,
Allah SWT yang maha pengasih telah mengatur semuanya. Termasuk suratan bahwa
ibu harus bertemu dan tinggal dengan ‘anak’ ibu yang lain”.
“Gusti Allah”, rintihku dalam hati, ”Mengapa aku harus menunggu selama ini
untuk mengetahui kisah ibu Ruminah. Betapa tumpulnya perasaanku. Padahal Engkau
telah memperingatkanku dengan kedatangannya setiap hari Jumat. Rupanya
peringatanMu belum cukup membuka mata hatiku untuk sekadar berempati meski
hanya dengan menyapanya. Maafkan aku ya Allah, maafkan aku ibu Ruminah…..”.