Selamat Malam, Malam
Di beranda ini, kuhela napas perlahan. Mencoba melepaskan
semua penat dan tuntutan yang beberapa waktu terakhir berlomba-lomba
memerudukkanku. Ah, tiada apa yang bisa menjamin sebuah kebahagiaan, selain
kemahiran bersikap arif terhadap semua ketentuan, bukan?
Entah, apakah tengah berfalsafah atau sekadar mengalihkan
penyesalan-dan sedikit keperihan-terhadap keputusanku satu bulan yang lalu
untuk tidak ikut serta dalam hajatan akbar itu. Aku tak tahu....
Yang coba kuselami saat ini adalah, bahwa ada sekuntum
sunyi yang masih betah berlama-lama tumbuh di dahan malam yang basah. Entah
bagaimana, kegelapan dan air langit yang jatuh satu-satu di tempias daun pisang
di salah satu sisi pagar, seakan-akan sengaja bertaut demi merajut kesyahduan
ini: Sebuah potongan masa yang begitu asyik untuk ditekuni dengan
bermenung-menung. Ah, sepertinya aku terlalu mendramatisir keadaan, ya?
Mungkin. Namun... jujur, setidaknya itulah yang aku rasakan.
Aku tahu, dari gaya tuturan yang kulontarkan pada mega
yang belum menggantungkan bulan di sana, mudahlah bagi kalian untuk menebak
seperti apa perasaanku saat ini. Bahagia; sedang jatuh cinta; mencari inspirasi
untuk sebuah puisi cinta; baru saja bertemu seorang CEO sebuah penerbitan yang-entah
bagaimana asal mulanya-mau menerbitkan sajak-sajakku; atau.... oww, tidak,
Kawan! Semua kemungkinan-kemungkinan yang elok didengar, wangi diendus, dan
(tentu saja) bergairah untuk diimpikan itu, tiadalah benar adanya. Tak ada itu!
Satu kata saja yang akan mewakili apa-apa yang sedang berkeriapan dalam
sanubariku: Sentimental.
Aku tak tahu, bagaimana ketersentuhan psikologis itu
menderaku. Aku hanya mencoba meyikapi semua yang berlaku pada karib-karibku itu
dengan kebijaksanaan yang benar-benar kuupayakan. Aku tengah mengurainya
menjadi sebuah perasaan bahagia yang sejatinya memang layak kubahagiai.
"Sanra,
lihatlah mereka! Berhasil semua, bukan?"
Aku hanya tersenyum sabit ketika Ibu mengatakan itu
beberapa hari yang lalu. Takkah Ibu lihat bahwa aku sudah berupaya membantu
keuangan keluarga dengan apa-apa yang kubisa? Memang, mungkin, di mata sebagian
sesiapa, apa-apa yang kugiati masih dipandang seperdelapan mata, termasuk oleh
orangtuaku sendiri.
"Bukan itu
perkaranya, Sanra. Bagaimana kalau kau tua nanti. Apa masih kuat bekerja? Mau
kau kasih makan batu anak-binimu?"
Nah, pada Ayah,
aku tak semringah-raya ketika ia berkoar, menimpali kata-kata ibu sebelumnya.
Aku tak mau-bukannya takut-ayah justru menanggapi reaksiku itu sebagai bentuk
peremehan terhadap tuntutannya-bersama Ibu.
Memang sampai
sejauh ini, ketiga adikku tak banyak menuntut seperti kedua orangtuaku. Namun,
itu hanya masalah pembicaraan di permukaan. Maria yang kini kuliah di semester
VII di sebuah Universitas di luar kota pernah mengatakan bahwa
rumah kami di Perumnas akan dijualnya demi berpenghidupan dengan cara itu. Aku
sempat menentang niatannya itu, namun Ayah dan Ibu justru membelanya.
"Kakak
takut tak dapat warisan rumah itu, kan?"
Kalau tak ingat
kalau adikku itu adalah seorang perempuan, sudah kugampar ia saat itu juga.
Masri. Adikku nomor dua yang kuliah di semester awal di
sekolah tinggi setingkat universitas di kota ini tentu saja masih belum dapat
dipastikan bagaimana prinsip hidupnya: berseberangan atau selurusan denganku.
Yah, semua berlaku karena hingga kini, biaya kuliahnya masih menjadi
tanggunganku. Ketika telah diwisuda kelak, mungkinlah dapat terbaca, akan
kemana pikirannya mengembara demi sebuah pekerjaan-mungkin juga kehormatan.
Bagaimana dengan si bungsu? Ai ai, terlalu subuh
membicarakan bagaimana Dika yang masih kelas tiga SD itu mencanangkan hari
depannya: Menyunggi-nyunggi sebuah gengsi (mungkin semu atau... entahlah!) dan
strata 'terpandang' di tengah-tengah masyarakat, atau memilih berpenghidupan
dengan apa-apa yang sekiranya bisa diperjuangkan sesuai dengan kecakapan yang
dipunyainya. Ah, masih lama itu....
Cicak-cicak yang bercericikan di dekat ventilasi pintu,
sekejap mengalihkan lamunanku. Tiba-tiba mataku seakan tersadar pada keadaan
sekitar: Malam yang masih merangkak pelan-pelan.
Hai Malam, ada apa dengan mereka yang bersembunyi di
balik jubah kelammu itu? Mengapa belum jua mereka menebar lampion biru segilima
itu di sekujur gelapmu?
Ya ya ya, dimafhumilah, bebintang itu tertahan dalam
renjananya karena malam masih rinai. Serombongan rintik masih setengah memaksa
menyeruak dari kelam-raya, berganti-gantian melubangi tanah pekarangan ini. Ah,
kadangkala aku berprasangka, bahwa mereka tengah menghiburku dengan
instrumentalia alamnya, kesunyiannya yang memainkan melodi yang
menyayat-nyayat.
"Sudahlah
Sanra, kau teruskan saja pekerjaanmu berwirausaha itu?"
Terimakasih rinai atas pembelaan (atau hanya
penghiburan?!) itu. Terimakasih sekuntum sunyi. Terimakasih sebatang malam.
Terimakasih... oh ya, apakah aku harus mengucapkan kata itu padamu juga, wahai
angin? Atas semua kabar-kabar yang bukan kabar-kabari yang kaukabarkan padaku
beberapa hari yang lalu yang menjadi musabab kesemuanya: kemarahan ayah yang
memuncak; kekesalan ibu yang remuk-redam; hingga perubahan sikap karib-karibku
itu.
Yah,
karib-karibku yang dulu kerap menyambangiku dan berdiskusi hangat di beranda
ini, tiada pernah menampakkan batang hidungnya lagi.
Dulu, ada-ada saja yang kami bincangkan. Mulai dari
kelambanan pemerintah menangani korban bencana alam, kesan ketidakpedulian
mereka terhadap penjajahan Israel pada Palestina, tentang berbelit-belitnya
birokrasi di negeri ini, tentang walikota terpilih yang ingkar janji, bla bla
bla.... Kritis. Tajam. Menusuk hingga meletuskan gelembung adrenalin kami.
Dan... yang masih segar dalam ingatan adalah, kami semua
pernah sama-sama turun ke jalan beberapa bulan yang lalu, demi menuntut
penegakkan hukum terhadap beberapa orang dekat petinggi pemerintahan daerah
yang terlibat kasus korupsi namun dibebaskan dalam sebuah persidangan tertutup.
"Baca itu,
Sanra!"
Entah aku lupa, ayah atau ibu yang menyodorkan koran itu
padaku di suatu pagi buta. Yang jelas, dengan sangat-sangat terang kulihat di
sana. Nama-nama kawan-kawan diskusiku di antara leretan panjang nama-nama lain
yang disertai nomor (entah nomor apa?) dan tanggal lahir mereka.
Tiba-tiba,
suara sedikit riuh dari dalam rumah membuyarkan lamunan dan pengaduanku pada romantisme malam ini. Kulihat ayah, ibu, Masri, dan Dika sudah di muka pintu.
"Sanra,
tadi adikmu Maria menelpon..."
"Ada
bukaan di bulan depan!" Ibu memotong kalimat Ayah dengan semangat.
"Iya, Kak.
Jangan nggak ikut lagi, ya?" timpal Masri.
Kulihat Dika
hanya melongo memperhatikan mereka yang tiba-tiba saja berbicara dengan
penekanan yang serius. Tak lama, ia mengalihkan pandangan ke arahku.
Keningku berlipat tiga, mempersilakan ia melempar kebingungan padaku.
"Tadi,
abis Kak Maria nelpon, Ibu, Ayah, dan Kak Masri ribut-ribut..."
Hening.
"... PNS
itu apa sih, Kak?" tanya Dika polos.
Aku bergegas meraih tubuh adik bungsuku itu. Menggendong
sambil mengelitiknya, sebelum bergegas ke dalam. Meninggalkan Ayah, Ibu,
Andika, dan sekuntum sunyi yang masih saja tumbuh di sebatang malam yang kelam,
yang masih basah, yang kian resah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar